Tipe Menjadi Penulis Kreatif di Era Digital

Tipe Menjadi Penulis Kreatif di Era Digital – Era digital bukan hanya menghadirkan tantangan. Tapi juga peluang bagi mereka yang bisa memanfaatkannya. Salah satunya, adalah dunia kepenulisan, khususnya menulis kreatif. Karena era digital yang identik dengan 1) digitalisasi, 2) otomatisasi, dan 3) kecerdasan buatan sama sekali tidakberguna manakala tidak mampu “dibahasakan” secara kreatif.

Oleh sebsb itu era digital, bisa dijadikan momentum untuk mengembangkan menulis kreatif sebagai proses. Atau bisa juga disebut penulisan kreatif. Masalahnya, mau atau tidak menjadi penulis kreatif? idnplay

Tipe Menjadi Penulis Kreatif di Era Digital

Bagian sisi kreativitas, setidaknya hanya ada tiga tipe penulis kreatif yang bisa “survive” di era digital, yaitu: judi bola

1. Penulis inovatif, yaitu penulis yang selalu konsisten dalam menghadirkan tema dan ide-ide baru yang orisinal pada setiap karyanya. https://americandreamdrivein.com/

2. Penulis follower, yaitu penulis yang mampu melihat peluang dari tren karya sastra yang digemari masyarakat di era kekinian.

3. Penulis yang momenial, yaitu penulis yang piawai dalam memanfaatkan momen tertentu atau peristiwa penting untuk membuat karya yang diterima pembaca.

Artinya, menjadi satu di antara ketiga tipe penulis kreatif di atas pun sudah layak mendapat “panggung” atas setiap tulisan atau karyanya.

Hakikatnya, penulis kreatif harus menghadirkan karya yang berbeda. Karya yang tidak sama dengan karya pada umunya. Dikarenakan dalam menulis kreatif, ada dua point penting yaitu: 1) kemampuan menulis yang baik dan 2) kreativitas sebagai cerminan “beda” dibandingkan karya lainnya.

Sebagai contoh saja. Mampukah kita menghasilkan karya kreatif berkonsep seperti cerita “Malin Kundang” untuk zaman sekarang. Apa yang menjadi sebab anak durhaka kepada orang tua di zaman now? Atau sebaliknya, apa yang menjadi orang tua “durhaka” barangkali kepada anaknya? Buatlah kisah seperti itu secara kreatif. Maka itu bisa disebut penulis kreatif.

Untuk mendalami menulis kreatif secara paripurna, buku “Kompetensi Menulis Kreatif” karya Syarifudin Yunus yang diterbitkan oleh Ghalia Indonesia tentu bisa jadi rujukan. Karena buku ini menyajikan cara dan langkah yang bia ditempuh agar mampu menulis dengan cara yang beda. Tentu menulis untuk keperluan sastra. Karena menulis kreatif adalah menulis untuk sastra, bukan menulis ilmiah. Buku “Kompetensi Menulis Kreatif”  adalah tuntunan untuk penulis kreatif di tingkat pemula. Mengenai menulis dengan cara yang beda, menulis yang tidak biasa.

Prinsipnya, menulis kreatif tidak dapat diajarkan, tetapi dapat dipelajari. Karena menulis adalah perbuatan, bukan pelajaran. Tanpa menulis, tidak akan pernah ada karya kreatif.

Seperti penulis lain, ingin menghasilkan karya tulisan yang hebat! Dengan duduk manis menghadap komputer dan menunggu jari-jarinya menari ajaib di atas papan ketik. Dia heran mengapa keajaiban itu tidak kunjung datang. Sesudah melewati beberapa menit, dia menyerah dalam pergulatan dengan pikirannya sendiri.

Beliau pun tergoda untuk menelepon teman, menonton televisi, menyapu ruangan, mencuci baju, menguras bak mandi, dan melakukan apa saja yang tidak berhubungan dengan menulis. Beliau tampak lega ketika berhasil menyelamatkan diri dari arena tulis-menulis yang menyebalkan!

Ini persoalannya. Pertalian paradigma bahwa menulis itu menyebalkan perlu dirombak total. Tahapan tulis-menulis akan berlangsung dengan efektif jika kita menganggap menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan. Anggapan mula  kita tentang proses menulis merupakan tenaga yang membakar hasrat diri untuk terus mencipta.

Sebagian penulis, seperti Andrea Hirata atau Raditya Dika menulis demi kepuasan pribadi. Beberapa karya mereka ternyata sangat laris terjual. Terdapat pula beberapa penulis yang berniat memublikasikan tulisannya dan ditolak. Namun, mereka tidak berhenti menulis karena terlanjur jatuh cinta dengan aktivitas menulis ini. Tulisan mereka memang gagal dipublikasikan, tetapi mereka tidaklah gagal. Penulis buku, Hernowo, “Mengikat Makna”, mengatakan bahwa menulis dapat mengantarkan kita menuju kebahagiaan hidup. Ada tiga kebahagiaan yang ditawarkan oleh proses menulis

Mari kita merenungkan sebentar. Jika diibaratkan dua orang yang sedang berbincang, tulisan adalah ucapan atau perkataan dari seseorang yang bercerita (penulis), dan pembaca adalah orang yang diajak berbincang. Apa asyiknya berbincang dengan orang terpaksa, memasang muka bertekuk lima, yang sesekali mengeluh? Dapat dipastikan jawabannya adalah tidak asyik!

Seperti itu juga yang terjadi dengan sejumlah tulisan yang mampir via email setiap bulannya. Terkadang penulis harus mengeryitkan dahi untuk mengerti apa topik cerita yang disajikan, karena kalimat demi kalimat yang disajikan tidak membuat enjoy saat dibaca.

Melihat fenomena yang terus berulang setiap bulannya, beberapa penulis pun berinisiatif, mencoba memberi arah kepada teman-teman yang tersesat, dengan menentukan tema tulisan, bergilir di setiap bulannya. Ternyata hal ini cukup efektif. Bravo! Sekarang tulisan teman-teman sudah lebih terarah dan fokus pada satu permasalahan, walau permasalahan tidak enjoy kadang masih terlihat.

Tipe Menjadi Penulis Kreatif di Era Digital

Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan di beberapa kota/kabupaten, ternyata permasalahan menulis, yang juga menjadi permasalahan nasional ini, bersumber dari mispersepsi tentang makna Best Practice. Yang terdoktrin di benak teman-teman fasilitator adalah cerita terbaik. Artinya cerita tersebut harus bersumber dari kelurahan/desa yang baik, dari sisi keorganisasian dan kegiatan yang dilakukan. Bagaimana dengan teman-teman fasilitator yang kebagian mendampingi kelurahan/desa yang bisa dibilang amburadul dari sisi organisasi dan kegiatan? Nah, teman-teman inilah yang akhirnya mesti menulis Best Practice sambil menekuk muka dan mengernyitkan dahi.

Padahal, tanpa disadari, Best Practice yang sesungguhnya lebih dekat kepada teman-teman pendamping kelurahan/desa yang disebut amburadul tadi. Karena, ketika teman-teman melakukan suatu perbaikan dari si wilayah amburadul ini, otomatis hal tersebut jadi bahan yang bisa diolah menjadi menu lezat Best Practice. Cuman dengan menggunakan rumus 5W+1H sebuah tulisan Best Practice pun akan tercipta. Berpikir kreatif berarti berani menciptakan sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya dengan mengerahkan kekuatan daya imajinasi kita. Tahapan menciptakan sesuatu berarti melontarkan pertanyaan-pertanyaan, menyelami keraguan dan akhirnya menemukan pemecahan yang kreatif. Kegiatan menulis mendorong kita untuk berpikir kreatif dalam menjawab pertanyaan dan menemukan pertanyaan baru untuk ditanyakan. Apabila terus membiasakan diri berkecimpung dalam dunia ini, penulis pun akan terbiasa menikmati saat-saat bermain dengan huruf yang menciptakan kata, kata yang menciptakan kalimat, kalimat yang menciptakan paragraf, dan paragraf yang menciptakan makna.

Memang kita harus berpikir out of the box. Tapi jangan sampai kita berpikir terlalu out alias jauh, sehingga hal yang di dekat malah terabaikan. Jangan terlalu sibuk memikirkan tema yang begitu bagus, hingga akhirnya malah tak jadi menulis.

Menulislah dengan hati. Menulis dengan bersikap seperti kita berbicara kepada seseorang. Dengan memerhatikan siapa yang kita akan ajak bicara. Itu akan membawa gaya tulisan kita. Seperti saat kita berbicara dengan orang tua maka tulisan kita akan bergaya resmi. Sedangkan saat berbicara dengan teman sebaya, tulisan kita akan lebih lebih santai.

Dengan membuat tulisan ini, diharapkan agar teman-teman pun merasakan nikmatnya menulis. Karena, sungguh, menulis itu sangat menyenangkan. Jika Anda gagal, teruslah berkarya. Jika Anda tertarik [untuk menulis], teruslah berkarya. Jika Anda bosan, teruslah berkarya.”

Continue Reading

Share